Penelitian ilmiah tentang perluasan gerakan Paderi termasuk tokoh Tuanku
Rao ke luar Sumatera Barat khususnya ke tanah Batak dan dampak yang
ditimbulkannya sangat langka kalau tidak dikatakan belum ada sama
sekali. Tapi historiografi tradisional berupa tradisi lisan yang hidup
dikalangan penduduk yang kemudian dibukukan dengan tambahan-tambahan
penulisnya telah lebih dulu menguasai wacana tentang sosok Tuanku Rao
dikalangan etnik Batak Toba dan Mandailing di Sumatera Utara.
Tulisan ini akan mencoba mengeksplorasi
tradisi lisan Batak Toba yang telah banyak dibukukan tentang sosok
Tuanku Rao yang kekejaman ekspansinya hidup atau terus dihidupkan dalam
memori kolektif orang Batak Toba dan Mandailing di Sumatera Utara.
Tulisan-tulisan yang mengangkat, mengembangkan bahkan
menginterpretasikan tradisi lisan itu memang sulit diklarifikasi
sejarahwan sumber-sumbernya, tapi faktayang dikukuhkan disitu dianggap
sebagian besar masyarakat sebagai sesuatu yang benar dan diyakini dengan
penuh fanatisme
Salah satu buku yang kontroversial
tentang Tuanku Rao adalah yang ditulis oleh Mangaradja Onggang
Parlindungan (MOP) yang terbit tahun 1964 dan kemudian dicetak ulang
oleh LKIS Jogyakarta tahun 2007. Saya menilai apa yang diuraikan buku
MOP tentang kekejaman tuanku Rao di tanah Batak, lebih banyak bersumber
dari tradisi lisan Batak Toba. Dalam penyelidikan saya, uraiannya
sejalan dengan memori kolektif orang Batak yang diwariskan dari generasi
ke generasi. Hal ini tidak mengherankan mengingat sumber utama tulisan
MOP adalah tulisan-tulisan orang tuanya, Sutan Martua Radja, seorang
tokoh kristen yang rajin mengumpulkan sejarah lisan Batak semasa
hidupnya. Tulisan MOP menjadi kontroversial karena dia memadukan
tradisi lisan Batak tentang Tuanku Rao dengan imajinasinya yang luar
biasa liar, penuh daya gugah dan disajikan dalam retorika bahasa yang
hidup dan memukau. Melalui bukunya berhasil mengelabui dan menyesatkan
pembaca yang mencoba-coba mengklarifikasi fakta di dalam bukunya.
Padahal dalam buku itu dia sudah menyatakan bahwa dia dengan sengaja
memasukkan hal-hal yang tidak benar.
Kebanyakan penulis yang mengangkat
tradisi lisan tentang Tuanku Rao di tanah Batak tidak bisa melepaskan
diri dari buku MOP karena buku MOP paralel dengan tradisi lisan yang
hendak mereka ungkap. Sekalipun diantara mereka ada yang mencoba kritis
terhadap fakta yang dilebih-lebihkan MOP, tapi garis besar penceritaan
MOP sejalan dengan memori kolektif masyarakat yang hendak mereka
sajikan.
Tuanku Rao Orang Batak
Salah satu sumber kontroversi dalam historiografi tradisional Batak adalah tentang asal usul Tuanku Rao. Kebanyakan tulisan, begitu juga tradisi lisan menganggap Tuanku Rao adalah orang Batak Toba, jadi sama sekali bukan orang Minang atau orang Rao. Penulis historiografi Batak bernama Batara Sangti dalam bukunya Sejarah Batak (1977) mengaku telah melakukan riset pada tahun 1930 sampai 1933 untuk mengukuhkan kebatakan Tuanku Rao.. Tentulah “riset” yang dimaksud Batara Sangti ini pengumpulan tradisi lisan yang pada kurun waktu itu masih kuat dalam ingatan kolektif orang Batak Toba. Menurut Batara Sangti, nama asli Tuanku Rao adalah pongki Nangolngolan. Pongki Nangolngolan pernah dibuang oleh Singa Mangaraja X ke Danau Toba dimana dia dimasukkan dalam sebuah peti mati yang dibuat dari batang kayu yang bernama “Pongki”. Sedang Nangolngolan berasal dari Nangirngiran’, yang ditunggu-tunggu. Kayu Pongki sebagai kayu keras di pusat negeri Toba merupakan jenis kayu sangat kuat yang lama sekali baru bisa tumbuh besar. Makna simbolik dari nama Pongki Nangolngolan itu adalah sosok atau tokoh yang sudah lama ditunggu-tunggu.
Penyebab mengapa Singa Mangaraja X
membuang Sipongki ke perairan Toba menurut Batara Sangti karena Sipongki
Nangolngolan telah menunjukkan tanda-tanda kesaktian seperti yang
dimiliki oleh dinasti Tuan Singa Mangaraja umumnya. Singa Mangaraja X
merasa Sipongki Nangolngolan akan menjadi saingannya sehingga dengan
alasan yang dibuat-buat maka Sipongki Nangolngolan dibuang keperairan
Toba.
Batara Sangti meluruskan tulisan Guru
Kenan Hutagalung yang mengatakan bahwa Pongki Nangolngolan telah
memenggal kepala Singa Mangaraja X dan membawa kepala tersebut pulang ke
negrinya. Batara Sangti meyakinkan bahwa cerita seperti yang telah
diuraikan di atas terus menerus hidup di tengah-tengah masyarakat Batak
di pusat Negeri Toba dan di catat dalam Pustaha Batak (kitab-kitab kuno
beraksara batak) , kecuali mengenai kepala Tuan Singa Mangaraja yang
terpotong dan di bawa pulang oleh Sipongki Nangolngolan.
Menurut Batara kepala raja itu sebenarnya
tidak sempat jatuh ke tangan Sipongki Nangolngolan, tetapi secara gaib
benar-benar jatuh ke tangan Permaisuri Tuan Singa Mangaraja X di
Bakkara. Pada waktu pemakaman tulang belulang Si Singa Mangaraja XII di
Soposurung Balige pada tanggal 17 Juni 1953, secara diam-diam menurut
Batara turut juga kepingan-kepingan tengkorak kepala Tuan Singa
Mangaraja X di bawa oleh pihak keluarga ke sana.
Batara Sangti membantah pendapat
Muhammad Said (1961) yang menyebut bahwa Singa Mangaraja XII dalam
sebuah pertemuan dengan rakyatnya di Balige menyebut bahwa kakeknya
(Singa Mangaraja X) telah dibunuh oleh Belanda. Menurut Batara Sangti
tidak benar Singa Mangaraja XII pernah menyatakan bahwa Singa Mangaraja X
dibunuh oleh Belanda. Menurut Batara sangti berita seperti itu tidak
pernah ada terdengar di tengah-tengah masyarakat Toba dari dulu hingga
saat ini walaupun hanya desas-desus atau selentingan. Batara Sangti juga
membantah pendapat Hamka yang menyebut bahwa Tuanku Rao adalah orang
Minangkabau sejati.
Adniel Lumbantobing dalam bukunya Sejarah
Si Singa Mangaraja (1967) menyebutkan bahwa Pongki Nangolngolan pada
waktu kecilnya bernama Tangkal Batu. Dia dibuang oleh Singa Mangaraja X
ke Danau Toba dengan memasukkannya ke dalam peti. Tapi dia selamat
karena kebal. Tangkalbatu mengganti namanya menjadi Pongki Nangolngolan.
Nama itu disesuaikan dengan kekebalan dan penderitaannya. Pada waktu
Pongki berumur 17 tahun, ia berangkat ke Bakkara untuk menemui pamannya
Singa Mangaraja X. Tetapi pamannya tidak mengakuinya sebagai kemanakan
walaupun dia telah menunjukkan bukti-bukti yang menandakan dia adalah
keluarga dari Singa Mangaraja. Karena tidak diakui oleh pamannya Si
Pongki meneruskan perjalanannya ke Sumatra Barat. Ketika sampai ke
daerah kekuasaan Tuanku Rao, Pongki ditangkap. Tapi pada waktu itu ia
mendapat tawaran dari Tuanku Rao untuk membunuh musuhnya. Jika Pongki
berhasil maka ia akan dikawinkan dengan putrinya. Dengan dipelopori oleh
Pongki beberapa raja-raja disekitar wilayah Bonjol menyerah kepada
Tuanku Rao. Si Pongki akhirnya kawin dengan putri baginda yang bernama
Aysjah Siti Wagini.
Ketika Pongki telah menjadi kepala
tentara di seluruh Tanah Bonjol, ia pun terus melakukan agresi ke
wilayah Tapanuli. Disini ia merencanakan membunuh pamannya (Singa
Mangaraja X) dengan cara mengelabui pamannya. Pada waktu yang telah
ditentukan Pongki berpura-pura menangis dan melihat hal itu pamannya
memeluk Pongki Nangolngolan. Sewaktu berangkulan, Pongki Nangolngolan
pelan-pelan mencabut pisau dari pinggangnya dan dengan tiba-tiba sekali
memotong batang leher pamannya sehingga terputus sama sekali. Tetapi
kepala mamaknya melambung ke atas, kemanapun dicari Pongki Nangolngolan
beserta orang-orangnya, kepala itu tidak dijumpainya.
Pengolahan tradisi lisan paling
monumental tentang asal usul Tuanku Rao dalam historiografi tradisonal
Batak adalah apa yang dilakukan Mangaradja Onggang Parlindungan (MOP).
Monumental karena karya ini banyak dirujuk penulis-penulis Batak untuk
mengukuhkan pembenaran tradisi lisan yang ada. Menurut MOP Si
Pongkinangolngolan lahir dari hubungan incest antara putra dari Singa
Mangaraja VIII yang bernama Gindoporang Sinambela dan Putri dari Singa
Mangaraja IX yang bernama Putri Gana Sinambela. Oleh karena orang Batak
tidak membolehkan kawin semarga maka Singa Mangaraja IX mengusir mereka
agar tidak di hukum oleh khalayak ramai.
Mereka berdua keluar dari Bakkara dan
menuju Singkil lalu masuk Islam, dengan nama Muhammad Zainal Amiruddin
Sinambela dan istrinya tetap pada kepercayaannya, sehingga mereka tidak
dapat menikah secara Islam. Putri Gana Sinambela melahirkan seorang
putra dan diberi nama Muhammad Fakih Amirudin Sinambela dan Putri Gana
Sinambela menyebutnya “Pongki Na Ngolngolan” = “Fakih yang
menunggu-nunggu”. Ketika Pongkinangolngolan datang ke Bakkara/Toba, ia
menjadi anak mas dari Singa Mangarja X.
Mengenai hukuman yang diberikan kepada
Pongkinangolngolan sebagai akibat dari incest yang dilakukan oleh orang
tuanya, sesuai tuntutan pemuka masyarakat (datu) maka Singa Mangarja
menjatuhkan vonis ditenggelamkan di Danau Toba. Tetapi Singa Mangaraja X
melonggarkan tali-tali yang mengikat Pongkinangolngolan. Ia mengapung
di atas air sampai ke permulaan sungai Asahan, dimana dia kemudian di
tolong oleh seseorang yang bernama Lintong Marpaung.
Pongkinangolngolan kemudian merantau ke
Minangkabau, atas anjuran Tuanku Nan Rentjeh. Pongkinagolngolan di
chitan sesuai dengan sarat-sarat chitan serta syahadat, pada tanggal 9
Rabiulawal 1219/H = 1804/M diislamkan dengan nama: “Umar Katab” dibalik
menjadi “Umar Batak”. Pongkinangolngolan Sinambela alias Umar Katab
menjadi General Officer Padry Army, dengan gelar Tuanku Rao. Oleh Padri
Army Command Tuanku Rao diperintahkan tugas belajar ke Luar Negeri.
Sementara itu satu versi lain tentang
asal usul Tuanku Rao diungkapkan oleh Basyral dalam bukunya Greget
Tuanku Rao (2007). Bagi Basyral Tuanku Rao bukan berasal dari Batak
Utara tapi dari kawasan Batak Selatan. Menurutnya Tuanku Rao adalah
orang Mandailing asli. Basyral mendasarkan argumennya dari sumber naskah
Tuanku Imam Bonjol yang menyebut Tuanku Rao adalah Pakih Muhammad,
ayahnya orang Huta Gadang [Hutanagodang di Mandailing Kecil] dan Ibunya
orang Rao.
Menarik untuk melihat keberadaan Pakih
Muhammad sebagai Imam Besar Nagari Rao gelar Tuanku Rao. Ayah Tuanku Rao
menurut sumber Basyral adalah orang Huta Gadang (Hutanagodang?) dan
ibunya orang Rao sehingga Basyral membuat kesimpulan Tuanku Rao adalah
orang Mandailing. Sayang sekali, dalam uraian asal-usul Tuanku Rao ini
Basyral belum mengeksplorasi sumber-sumber Mandailing lainnya. Muhammad
Said (1961) berdasar sumber yang dikutipnya meresepsi historiografi
Batak tentang asal usul Tuanku Rao. Menurut Said Si Pokki Nangolngolan
adalah “agresor” yang pernah datang ke tanah Batak untuk melaksanakan
pengislaman. Tuanku Rao adalah Si Pokki Nangolngolan yang telah membunuh
pamannya yaitu Ompu Tuan Na Bolon atau Singa Mangaraja X. Tetapi Said
sangat menyayangkan sekali peristiwa penetrasi orang-orang Bonjol
apalagi mengenai riwayat hidup Tuanku Rao tidak di dapat dalam sumber
Padri atau sumber yang dipertahankan kenetralannya. Dalam hal ini Said
memegang sumber yang lebih dianggap netral karena sumber yang diperoleh
dari tangan pertama, dimana orang-orangnya masih berada dan turut serta
dalam kejadian itu. Sumber tersebut ditulis oleh J.B. Neumann 1866
seorang Kontelir B.B yang menulis tentang “Studies ever Bataks en
Batakschelanden” (hal 51) dan menyebut bahwa Tuanku Rao adalah berasal
dari Padang Matinggi, tidak disebut bahwa Tuanku Rao berasal dari Toba.
Neumann sendiri mengambil sumber karangannya dari Residen T.J Willer
yang berada di Tapanuli tahun 1835. Tapi dengan menyatakan bahwa Tuanku
Rao adalah si Pongki, maka sebenarnya Said lebih setuju kalau Tuanku Rao
memang berasal dari tanah Batak, bukan sebagaimana disebut
sumber-sumber Belanda.
Hamka (1974) merupakan penulis yang
mencoba mengoreksi historiografi Batak tentang asal usul Tuanku Rao
sebagai orang Batak. Menurut Hamka dongeng-dongeng (mitos) tentang
Tuanku Rao ini dalam kalangan orang Batak Toba banyak tersiar, dimana
Hamka menemukan dalam tulisan-tulisan itu bahwa Tuanku Rao adalah anak
Batak sejati. Hamka mengatakan bahwa riwayat Tuanku Rao yang di
ungkapkan dari beberapa penulis Batak seperti Guru Kenan Hutagalung,
Adniel Lumbantobing, Sutan Pane Paruhum merupakan mitos. Hamka juga
mengkritik tulisan MOP tentang riwayat Tuanku Rao sebagai karangan yang
dibuat-buat dan menganggap Parlindungan adalah orang yang mahir
“menyusun” suatu cerita. Dengan mengemukakan bukti-bukti, Hamka menyebut
MOP dalam membuat tulisannya tentang asal-usul Tuanku Rao banyak
mengemukakan hal-hal yang mengandung kebohongan. Asal-usul Tuanku Rao
menurut Hamka membenarkan bahwa Tuanku Rao telah kawin dengan puteri
Yang Dipertuan Rao dan karena Yang Dipertuan Rao bukan panganut Wahabi
maka pimpinan diambil alih oleh menantunya yang dikenal dengan Tuanku
Rao.
Selain itu Hamka juga menekankan Tuanku
Rao adalah orang Padang Matinggi. Bukan orang Bakkara. Sebab itu beliau
orang Minang. Bukan orang Batak. Ungkapan Hamka tersebut dimantapkan
dengan cara melakukan wawancara kepada orang Rao sendiri, yaitu Drs. H.
Asrul Sani yang merupakan keturunan Yang Dipertuan Padang Nunang Rao.
Untuk membenarkan dan memperkuat pernyataannya, Hamka mengutip sumber
dari penulis Batak, Sanusi Pane yang tidak membayangkan bahwa Tuanku Rao
adalah orang Batak. Riset akademis terakhir tentang asal usul tokoh ini
dengan memperhatikan berbagai sumber masih jarang dilakukan. Salah
seorang sejarahwan yang menyinggung masalah ini adalah Christine Dobbin
(2008). Menurut Dobbin Tuanku Rao dari perspektif sejarah merupakan
tokoh yang kabur tapi diakuinya tokoh ini sangat dikenal dalam sejarah
Batak. Akan tetapi kata Dobbin, kebanyakan yang ditulis tentang dirinya
didasarkan atas tradisi lisan Batak awal abad ke 20 dan tak bisa
dikomfirmasikan dalam sumber-sumber Belanda yang ada. Ini mengherankan
Dobbin karena katanya, surat-surat yang ditulis oleh pejabat-pejabat
Belanda pada waktu itu secara teratur menceritakan tentang rekan
sejamannya, Tuanku Tambusai penakluk tanah Batak bagian timur.
Tidak adanya informasi tentang Tuanku Rao menurut Dobbin sebagian bisa dijelaskan dengan kenyataan bahwa ia meninggal pada tahun1833, tak lama sesudah Belanda memasuki Rao. Dengan demikian, ia tidak mempunyai jabatan lain yang bisa mengundang penyelidikan Belanda mengenai kegiatan-kegiatan awalnya. Akan tetapi yang mengherankan dari pendapat Dobin adalah sikap menduanya, disatu pihak dia mengatakan : ”Dapat diterima bahwa Tuanku Rao adalah seorang Batak yang dulunya dikenal dengan Pongki na Ngolngolan.” Tapi dipihak lain dia mengatakan : ”Akan tetapi ada tradisi lisan Batak yang menyatakan bahwa ia adalah keponakan Raja Imam Batak, Sisingamangaraja X, yang menguasai daerah Bakara-Toba. Namun, ini pun tidak bisa dipastikan.” Apa pun asalmuasalnya, kata Dobbin, Pongki na Ngolngolan adalah seorang petualang Batak yang pada tahap tertentu dalam kariernya tiba di Lembah Rao. Dia menemukan seorang pelindung di sehari-harinya. Pada akhirnya di tahun 1808, ia menjadi Islam. Kemudian ia berhubungan dengan ajaran Padri di daerah lebih ke selatan dan rupanya mereka merasa bahwa dengan memperoleh pengakuan sebagai eksponen ajaran ini, posisinya sebagai orang luar atau orang datang dalam masyarakat Rao akan jauh lebih baik. Sayang kata Dobbin, kita tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai hubungannya dengan Imam Bondjol.
Tidak adanya informasi tentang Tuanku Rao menurut Dobbin sebagian bisa dijelaskan dengan kenyataan bahwa ia meninggal pada tahun1833, tak lama sesudah Belanda memasuki Rao. Dengan demikian, ia tidak mempunyai jabatan lain yang bisa mengundang penyelidikan Belanda mengenai kegiatan-kegiatan awalnya. Akan tetapi yang mengherankan dari pendapat Dobin adalah sikap menduanya, disatu pihak dia mengatakan : ”Dapat diterima bahwa Tuanku Rao adalah seorang Batak yang dulunya dikenal dengan Pongki na Ngolngolan.” Tapi dipihak lain dia mengatakan : ”Akan tetapi ada tradisi lisan Batak yang menyatakan bahwa ia adalah keponakan Raja Imam Batak, Sisingamangaraja X, yang menguasai daerah Bakara-Toba. Namun, ini pun tidak bisa dipastikan.” Apa pun asalmuasalnya, kata Dobbin, Pongki na Ngolngolan adalah seorang petualang Batak yang pada tahap tertentu dalam kariernya tiba di Lembah Rao. Dia menemukan seorang pelindung di sehari-harinya. Pada akhirnya di tahun 1808, ia menjadi Islam. Kemudian ia berhubungan dengan ajaran Padri di daerah lebih ke selatan dan rupanya mereka merasa bahwa dengan memperoleh pengakuan sebagai eksponen ajaran ini, posisinya sebagai orang luar atau orang datang dalam masyarakat Rao akan jauh lebih baik. Sayang kata Dobbin, kita tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai hubungannya dengan Imam Bondjol.
Kekejaman Tuanku Rao dan Paderi di Tanah Batak
Bagian ini saya ulas dengan menguraikan pendapat Dobbin yang membahas historiografi Batak tentang serangan Paderi ke Tapanuli. Laporan Batak yang dibaca Dobbin diakuinya cenderung menekankan kekerasan dan kekacauan yang terjadi selama periode Padri. Namun, Tuanku Rao menurut Dobbin telah berusaha untuk memperkenalkan bentuk administrasi Padri ke desa-desa Batak. Akan tetapi, bagaimana system ini dilembagakan dan berapa besar dukungan yang diterima adalah pertanyaan yang tidak dapat dijawab. Beberapa orang Batak memang sudah beragam Islam sebelum serbuan Padri. Ada orang-orang muslim yang tinggal di Panyabungan ketika diserbu. Bahkan desa-desa tertentu didekatnya ada yang mempunyai hubungan dagang dengan pantai barat dan telah menjadi Islam selama beberapa tahun.
Namun pada masa awal pemerintahannya
penyerbu dari Rao menurut Dobbin mengandalkan kekuatanya sendiri dan
mengangkat orang-orang Minagkabau sebagai kadi di desa-desa Batak.
Hakim-hakim ini mendasarkan administrasinya pada Quran secara kata
perkata. Mereka juga mencoba memberlakukan semua puritanisme lahiriah
gerakan mereka. Tentu saja kata Dobbin orang-orang dipaksa menjadi Islam
dan terjadi banyak pembunuhan, disamping itu, para Padri juga sangat
bersemangat menghancurkan kesastraan Batak. Pada mulanya penyerbuan
Padri kata Dobbin sukar dibedakan dari penyerbuan dan pendudukan asing.
Selain telah mengarahkan perdagangan Batak ke kelompok pelabuhan khusus
di pantai barat, Tuanku Rao juga mewajibkan membiayai upeti kepada Rao
dan Alahan Panjang dalam bentuk beras, kerbau dan budak-budak .
Wilayah-wilayah bawahan juga mewajibkan membiayai pemeliharaan pasukan
Minangkabau di desa-desa mereka dan menyediakan pasukan bersenjata untuk
kegiatan Padri di daerah lebih ke utara lagi.
Pada tahun 1822, para Padri telah berada
di belakang Tapanuli, setelah menyapu seluruh wilayah Angkola. Menurut
laporan Batak yang menurut Dobbin harus ditanggapi dengan hati-hati,
Tuanku Rao mengangkat seorang Tuanku Lelo, anggota marga Nasution dan
putra seorang Batak pedagang garam, menjadi “gubernur” Angkola. Selain
itu, ia juga membangun benteng di Padang Sidempuan. Daerah ini adalah
lokasi yang strategis karena terletak dipersimpangan rute dagang penting
yang menuju ke pantai dan ke daerah Mandailing dan Silindung. Di tempat
inilah ia menjalankan kebijakan Padri untuk memajukan perdagangan,
membuka jalan – jalan dagang, dan mendukung para pedagang.
Dobbin mengungkapkan tradisi lisan Batak
yang menyebut segerombolan Padri di bawah Tuanku Rao masuk sampai
sejauh Butar di utara, di plato Humbang. Ditempat ini, Tuanku Rao
menghadapi wakil dinasti iman Raja Sisingamangaraja pada waktu itu, yang
tinggal dilembah Bakkara yang berdinding batu di barat laut Danau
Toba. Menurut tradisi Batak, Tuanku Rao adalah kemenakan yang
disia-siakan oleh Sisingamangaraja. Keterangan ini adalah usaha untuk
menjelaskan mengapa Tuanku Rao dikatakan membunuh. Tragedi ini terjadi
di pasar Butar, sesudah tuanku mengundang Sisingamangaraja untuk suatu
pertemuan. Namun, Sisingamangaraja sebagai tokoh berbahaya karena
dianggap dapat mengerahkan marga-marga Batak Toba untuk melawan Islam.
Faktor lainnya karena Sisingamangaraja mempunyai hubungan dengan Barus.
Padahal, jalinan inilah kata Dobbin, yang ingin dipatahkan oleh kaum
Padri.
Sebagaimana disebut Dobbin, tradisi Batak
menggambarkan kekejaman-kekejaman serangan Padri ke tanah Batak. Dalam
karangan yang ditulis orang Batak sampai saat ini, sebagaimana tulisan
Sihombing (2008) tetap dikenang pahitnya invasi kaum Pidari
(tulisan-tulisan Batak penyebut pidari untuk paderi) sehingga dianggap
merupakan salah satu periode yang paling hitam dan gelap dalam sejarah
orang Batak, Angkola-Mandailing-Padang Lawas dan Toba. Dalam tulisannya
Sihombing menyebut situasi Tanah Batak menjadi begitu morat-marit
sepeninggal pasukan Pidari dan segala kekacauan hukum yang terjadi di
tanah Batak selanjutnya dianggap sebagai dampak dari serangan Paderi.
Menurut Sihombing, untuk waktu yang cukup lama, hukum dan tata-krama
yang mengatur masyarakat dalam zaman pemerintahan bius-bius menjadi
berantakan. Bila pun masihb ada agaknya tal perlu diindahkan lagi.
Sering terjadi saling-serang dan saling curiga di antara satu kelompok
terhadap kelompok lain ( umumnya berdasarkan wilayah “saompu” atau
seketurunan). Konon, pada tahapan waktu inilah mereka malah justru mulai
“bisa” membunuh serta “memakan” (secara harfiah) daging dari musuh yang
ditaklukkan atau dari pangkahap (mata-mata) yang menyamar dan
tertangkap, sebagai akibat kegeraman hati.
Dalam buku lain Bisuk Siahaan (2005)
mengatakan bahwa dampak buruk perang Padri di Toba bukan saja hanja
secara materiil, tapi juga secara sosial dalam tatakrama kehidupan
masyarakat, termasuk terjadinya perubahan patik dohot uhum (peraturan
dan hukum). Sebagai contoh, katanja, sebelum serbuan kaum Pidari, orang
Toba memiliki hukum yang mengatur tatacara berperang yang tak boleh
dilanggar. Kode etik-perang oang Batak sebelumnya menetapkan berbagai
larangan, seperti menyerang musuh pada malam hari, membakar rumah musuh;
membunuh perempuan, dll.
Sihombing menganggap, orang Batak sejak dulu mengenal etika perang internasional dimana kedua belah pihak yang akan berperang lebih dahulu harus mendeklarasikan tantangan, niat dan keputusan perangnja. Menurut catatan Sihombing, : tatakrama perang itu dilakukan dengan tulus oleh Raja Sisingamangaraja XII, ketika mendeklarasikan (Pulas) Perang Batak, dimana serangan harus dilakukan secara frontal, dengan aba-aba “siap”. Berarti semua orang dalam pasukan kedua belah fihak memang benar-benar sudah siap untuk berperang, lahir dan bathin. Suatu sikap kesatria, jauh dari kepengecutan. Tapi semua tata-krama “internasional dan regional Batak” menurut ukuran zamannya masing-masing itu, kata Sihombing, telah dilanggar oleh pasukan kaum Pidari.
Sihombing menganggap, orang Batak sejak dulu mengenal etika perang internasional dimana kedua belah pihak yang akan berperang lebih dahulu harus mendeklarasikan tantangan, niat dan keputusan perangnja. Menurut catatan Sihombing, : tatakrama perang itu dilakukan dengan tulus oleh Raja Sisingamangaraja XII, ketika mendeklarasikan (Pulas) Perang Batak, dimana serangan harus dilakukan secara frontal, dengan aba-aba “siap”. Berarti semua orang dalam pasukan kedua belah fihak memang benar-benar sudah siap untuk berperang, lahir dan bathin. Suatu sikap kesatria, jauh dari kepengecutan. Tapi semua tata-krama “internasional dan regional Batak” menurut ukuran zamannya masing-masing itu, kata Sihombing, telah dilanggar oleh pasukan kaum Pidari.
Mungkin, demikian Sihombing selanjutnya
mengatakan, karena beratnya penderitaan dan trauma dari masa nightmare
(mimpi neraka) penghancuran oleh pasukan Pidari, itulah sebabnya bahwa
sepeninggalan kaum perusuh, orang Batak yang masih sisa justru malah
meniru dan melakukan perilaku yang sama dengan kaum Pidari.
Tapi kenapa dikatakan “orang yang masih
sisa”? Sihombing seperti juga penulis Batak lainnya merujuk MOP yang
mengatakan bahwa pasukan Pidari yang mundur dengan sangat cemas dan
tergesa-gesa karena landaan wabah begu antuk (Kolera) dari Tanah Batak
bagian utara, sisa orang Batak yang bisa hidup bertahan dan kemudian
keluar dari persembunyian di gua-gua dan hutan selama tiga tahun serbuan
dan pendudukan, hanya tinggal 25 % saja. Konon, demikian juga kondisi
sisa pasukan Pidari penyerbu, hanya tersisa 25 sampai 30 % juga.
Meskipun statistik jumlah penyerbu (30 ribu orang) dari buku MOP itu
dianggap Sihombing mungkin terlalu dilebih-lebihkan, namun kata
Sihombing, berapa besarpun jumlah pasukan penyerbu, kita bisa
membayangkan betapa besar destruksi terhadap segala aspek kehidupan yang
ditinggalkannya.
Untuk menguatkan kekejaman perang Paderi di tanah Batak, Sihombing juga merujuk Basyral Hamidy Harahap (2007) untuk menekankan pemberitaan perihal hebatnya destruksi yang dilakukan dalam masa pendudukan kaum Pidari dari Minangkabau di Tanah Batak Mandailing-Sipirok-Padang Lawas sampai Toba dalam kuarter pertama abad 19. Agaknya, buku tersebut ditulis oleh Harahap, demikian Sihombing, antara lain dengan niat untuk mengoreksi dan menyempurnakan bagian-bagian tertentu buku Tuanku Rao, seraya menguatkan pembenaran berita tentang “mimpi neraka” yang dialami oleh orang Batak bagian selatan dan utara, sebagai akibat serbuan dan pendudukan kaum Pidari itu.
Untuk menguatkan kekejaman perang Paderi di tanah Batak, Sihombing juga merujuk Basyral Hamidy Harahap (2007) untuk menekankan pemberitaan perihal hebatnya destruksi yang dilakukan dalam masa pendudukan kaum Pidari dari Minangkabau di Tanah Batak Mandailing-Sipirok-Padang Lawas sampai Toba dalam kuarter pertama abad 19. Agaknya, buku tersebut ditulis oleh Harahap, demikian Sihombing, antara lain dengan niat untuk mengoreksi dan menyempurnakan bagian-bagian tertentu buku Tuanku Rao, seraya menguatkan pembenaran berita tentang “mimpi neraka” yang dialami oleh orang Batak bagian selatan dan utara, sebagai akibat serbuan dan pendudukan kaum Pidari itu.
Sihombing menyatakan, selanjutnya
kebanyakan orang Batak dari generasi lebih muda, memang sengaja tidak
terlalu intensif diceritai (kalau tak akan dikatakan kisahnya dideponir)
oleh tetuanya tentang betapa ngerinya pengalaman kakek-moyang “bangso”
Batak pada dasawarsa 1820-1830-an, yang porak poranda akibat serbuan
kaum Pidari. Bahwa ribuan sanak saudara yang tidak mati karena serbuan,
tokh harus mati karena wabah mengerikan. Ribuan dari sisa yang hidup,
demikian Sihombing, dibajak pula dengan penderitaan tak terkirakan,
diperjualbelikan menjadi budak di Tapanuli Selatan dan pantai-pantai
barat Sumatra. Maksud tua-tua Batak yang kala itu ingin mendeponir
cerita invasi kaum Pidari, ialah supaya aib yang sangat memalukan itu
tak perlu diketahui generasi mudanya. Umumnya mereka mencatat singkat
begini: pernah ada mimpi buruk dialami orang Batak yang disebut “Tingki
ni Pidari (masa Pidari)” Almanak Tahunan HKBP saja, dalam catatan
tonggak-tonggak bersejarahnya yang dirujuk Sihombing, setiap
terbit-tahunan, hanya mencatat singkat begini: 1825-1829 Porang ni
Tuanku Rao (Porang Bonjol) na mamorangi bangso Batak (Perang Tuanku
Rao(Perang Bonjol) yang datang memerangi “bangsa” Batak).
Sama seperti Sihombing, penulis lain yang tadi sudah disebut yakni Siahaan (2005) dalam uraiannya tentang Padri juga tidak melewatkan untuk merujuk buku MOP. Dijelaskan MOP, demikian Siahaan, antara tahun 1816-1818 tentara Padri mulai menyerbu Tapanuli Selatan dan menduduki Mandailing, Sipirok dan Padang Lawas, sekaligus mengislamkan penduduk yang masih menyembah berhala. Setelah Tapanuli Selatan dikuasai, beberapa tahun kemudian dilakukan penyerbuan ke Tapanuli Utara dengan sasaran Pahae, Silindung, Humbang dan Toba. Tentara Padri membakar berpuluh-puluh rumah, menawan dan membunuh penduduk tanpa memperdulikan apakah mereka wanita, anak-anak atau orang tua yang tak berdaya. Bahkan kekejaman yang tidak ada taranya terjadi di daerah Pahae, Humbang dan Silindung. Penduduk yang tidak mau tunduk kepada tentara Padri ditawan, lalu matanya dicungkil. Selama penyerangan tersebut beratus-ratus penduduk yang tidak bersalah dibunuh secara kejam, mayat bergelimpangan menutupi jalan setapak, sehingga tidak mungkin lagi menguburnya dengan baik. Dimana –mana terlihat bangkai membusuk, menyebabkan wabah penyakit kolera dan tifus mengganas. Efidemi berjangkit secara tiba-tiba, tidak hanya menyerang penduduk setempat,tetapi juga tenatra Padri. Disebabkan sangat banyak penduduk dan tentara Padri yang meninggal terserang penyakit kolera, pemimpin tentara Padri yang memerintahkan supaya semua serdadunya segera meninggalkan Tapanuli Utara. Sangat sulit membayangkan betapa kejamnya perlakuan tentara Padri kepada penduduk yang tidak berdosa, menyebabkan sampai hari ini bila masyarakat hendak menggambarkan sesuatu yang sangat bengis dan tak beradab, dikatakan “seperti di masa Pidari” (“di tingki ni Pidari).
Meskipun tentara Padri telah meninggalkan Tapanuli Utara, namun penduduk menurut Siahaan masih tetap waswas, takut jika pada suatu hari tentara Padri muncul kembali menyiksa mereka. Menyaksikan kekejaman perang yang baru saja berlalu, meyebabkan penduduk tidak lagi sepenuhnya patuh pada ajaran “berperang menurut aturan Patik dohot Uhum” seperti yang dianut selama ini. Mereka telah berubah dan menetapkan aturan perang sendiri, sesuai dengan selera masing-masing. Hal ini menurut Siahaan, dilaporkan oleh Kontelir G.W.W.C Baron van Hoevel yang turut dalam pasukan militer Belanda di bawah komando Kapten Infanteri Scheltens, dan dibenarkan oleh raja-raja di Silindung dan Toba. Sebelum Scheltens memulai ekspedisinya (perjalananya) ke daerah Toba dan Silindung, terlebih dulu mereka mempelajari semua arsip-arsip Belanda yang tersimpan sejak tahun 1845, khusus mengenai adat dan cara orang Batak berperang. Ternyata tulisan yang ada di arsip tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Pasukan Scheltens sangat terkejut sewaktu mereka secara tiba-tiba diserang oleh pengikut Si Singamangaraja pada malam hari, padahal menurut aturan Patik dohot Uhum yang mereka pelajari, orang Batak tidak diperkenankan menyerang musuh pada malam hari, selain itu, beberapa rumah pejabat dan tangsi tentara Belanda dicoba hendak dibakar, padahal menurut Patik dohot Uhum dilarang membakar rumah musuh.
Sejak peristiwa tersebut, serdadu Belanda menurut Siahaan sadar bahwa keadaan sudah berubah, penyerbuan tentara Padri yang sangat kejam ke Tanah Batak, telah mengubah cara berpikir penduduk. Rupanya, demikian Siahaan, penderitaan yang dialami selama perang paderi, telah meninggalkan truma yang sulit dipupus dari benak penduduk, mereka merasa dirinya senantiasa terancam oleh bahaya maut. Untuk mengamankan diri, bahkan benteng perlindungan kampung ditinggikan dan diperkuat dengan bambu-bambu berduri sebagaimana sampai saat ini jejaknya masih bisa dilihat di desa-desa Batak.
Sama seperti Sihombing, penulis lain yang tadi sudah disebut yakni Siahaan (2005) dalam uraiannya tentang Padri juga tidak melewatkan untuk merujuk buku MOP. Dijelaskan MOP, demikian Siahaan, antara tahun 1816-1818 tentara Padri mulai menyerbu Tapanuli Selatan dan menduduki Mandailing, Sipirok dan Padang Lawas, sekaligus mengislamkan penduduk yang masih menyembah berhala. Setelah Tapanuli Selatan dikuasai, beberapa tahun kemudian dilakukan penyerbuan ke Tapanuli Utara dengan sasaran Pahae, Silindung, Humbang dan Toba. Tentara Padri membakar berpuluh-puluh rumah, menawan dan membunuh penduduk tanpa memperdulikan apakah mereka wanita, anak-anak atau orang tua yang tak berdaya. Bahkan kekejaman yang tidak ada taranya terjadi di daerah Pahae, Humbang dan Silindung. Penduduk yang tidak mau tunduk kepada tentara Padri ditawan, lalu matanya dicungkil. Selama penyerangan tersebut beratus-ratus penduduk yang tidak bersalah dibunuh secara kejam, mayat bergelimpangan menutupi jalan setapak, sehingga tidak mungkin lagi menguburnya dengan baik. Dimana –mana terlihat bangkai membusuk, menyebabkan wabah penyakit kolera dan tifus mengganas. Efidemi berjangkit secara tiba-tiba, tidak hanya menyerang penduduk setempat,tetapi juga tenatra Padri. Disebabkan sangat banyak penduduk dan tentara Padri yang meninggal terserang penyakit kolera, pemimpin tentara Padri yang memerintahkan supaya semua serdadunya segera meninggalkan Tapanuli Utara. Sangat sulit membayangkan betapa kejamnya perlakuan tentara Padri kepada penduduk yang tidak berdosa, menyebabkan sampai hari ini bila masyarakat hendak menggambarkan sesuatu yang sangat bengis dan tak beradab, dikatakan “seperti di masa Pidari” (“di tingki ni Pidari).
Meskipun tentara Padri telah meninggalkan Tapanuli Utara, namun penduduk menurut Siahaan masih tetap waswas, takut jika pada suatu hari tentara Padri muncul kembali menyiksa mereka. Menyaksikan kekejaman perang yang baru saja berlalu, meyebabkan penduduk tidak lagi sepenuhnya patuh pada ajaran “berperang menurut aturan Patik dohot Uhum” seperti yang dianut selama ini. Mereka telah berubah dan menetapkan aturan perang sendiri, sesuai dengan selera masing-masing. Hal ini menurut Siahaan, dilaporkan oleh Kontelir G.W.W.C Baron van Hoevel yang turut dalam pasukan militer Belanda di bawah komando Kapten Infanteri Scheltens, dan dibenarkan oleh raja-raja di Silindung dan Toba. Sebelum Scheltens memulai ekspedisinya (perjalananya) ke daerah Toba dan Silindung, terlebih dulu mereka mempelajari semua arsip-arsip Belanda yang tersimpan sejak tahun 1845, khusus mengenai adat dan cara orang Batak berperang. Ternyata tulisan yang ada di arsip tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Pasukan Scheltens sangat terkejut sewaktu mereka secara tiba-tiba diserang oleh pengikut Si Singamangaraja pada malam hari, padahal menurut aturan Patik dohot Uhum yang mereka pelajari, orang Batak tidak diperkenankan menyerang musuh pada malam hari, selain itu, beberapa rumah pejabat dan tangsi tentara Belanda dicoba hendak dibakar, padahal menurut Patik dohot Uhum dilarang membakar rumah musuh.
Sejak peristiwa tersebut, serdadu Belanda menurut Siahaan sadar bahwa keadaan sudah berubah, penyerbuan tentara Padri yang sangat kejam ke Tanah Batak, telah mengubah cara berpikir penduduk. Rupanya, demikian Siahaan, penderitaan yang dialami selama perang paderi, telah meninggalkan truma yang sulit dipupus dari benak penduduk, mereka merasa dirinya senantiasa terancam oleh bahaya maut. Untuk mengamankan diri, bahkan benteng perlindungan kampung ditinggikan dan diperkuat dengan bambu-bambu berduri sebagaimana sampai saat ini jejaknya masih bisa dilihat di desa-desa Batak.
Penutup
Uraian di atas memperlihatkan bagaimana penulisan historiografi tradisional Batak yang sebenarnya sepenuhnya berasal dari tradisi lisan Batak memberikan pengabsahan bahwa Tuanku Rao adalah asli orang Batak Toba (Sipongki Nangolngolan), lahir dari hubungan gelap, memiliki hubungan keluarga dengan raja Singamangaraja, merantau ke Rao, masuk Islam dan menyerbu tanah Batak dengan kejam karena ingin membalas dendam. Selanjutnya dia berhasil membunuh pamannya Singamangaraja X dan menyebarkan Islam yang sekalipun dilakukan dengan paksaan, sadis, tidak berperikemanusiaan dan sangat berdarah, tapi tidak berhasil mengislamkan Tanah Batak bagian utara.
Diperlukan kehati-hatian berhadapan dengan tradisi lisan yang penuh kontroversi ini. Sejarahwan seperti Dobbin juga bisa terjebak menguraikan ”episode” Tuanku Rao di tanah Batak dengan mendasarkan uraiannya semata dari tradisi lisan Batak yang diakuinya tidak bisa diklarifikasi ke sumber-sumber sejarah yang lain. Ironisnya tradisi lisan yang didapat Dobbin adalah tradisi lisan yang telah dikembangkan, difiksikan dengan imajinasi seperti yang terdapat dalam tulisan MOP. Uraian Dobbin memperlihatkan seakan dia meneruskan tradisi lisan Batak ke dalam karya akademisnya dan sangat disayangkan dia tidak mengeksplorasi dan membandingkannya dengan tradisi lisan yang berkembang di Tapanuli Selatan, Rao dan Minangkabau.
Menurut saya, tradisi lisan Batak yang kemudian dituliskan itu merupakan hasil konstruksi dari satu kurun waktu tertentu, di wilayah tertentu dan untuk kepentingan tertentu. Saya perkirakan, pada waktu cerita itu dikontruksi, penguasa Belanda dan para zending penyebar agama kristen di Toba mencemaskan penyebaran Islam ke tanah Batak dan mereka berusaha untuk menghambat penyebaran itu dengan berbagai cara termasuk membentengi diri dengan menciptakan dan mengembangkan kekejaman Padri di tanah Batak dan mereproduksinya lewat tokoh-tokoh Batak beragama kristen dari generasi pertama kristenisasi di tanah Batak. Reproduksi itu dilakukan dikawasan Toba dan Humbang yang terancam dan tidak terjadi di kawasan Samosir.
Dalam penyelidikan saya atas tradisi lisan tentang Tuanku Rao sebagai Si Pongki Nangolngolan saya ketahui tradisi lisan ini tidak dikenal di pulau Samosir. Juru pelihara kompleks makam Raja Sidabutar di Tomok, Samosir tepat di tepi Danau Toba, ketika saya wawancarai di akhir tahun 2007 tidak mengenal Si Pongki Nangolngolan. Bahkan dia menunjuk pohon Pongki yang ada di kompleks makam itu sebagai pohon tua yang sangat keras dan kuat tanpa ada hubungannya dengan simbol dari seorang tokoh yang kemudian dikonstruksikan sebagai Tuanku Rao. Kisah tentang legenda Si Pongki ini juga tidak ditemukan di kawasan tapanuli Selatan.
Penyerangan Padri ke tanah Batak, khususnya Toba, merupakan penyerangan yang juga diakui terjadi oleh sumber-sumber yang ada di Minangkabau sendiri. Tapi versi tradisi lisan tentang penyerangan itu dan genealogi Tuanku Rao dalam tradisi Batak adalah hasil konstruksi. Tidak merupakan kebetulan jika penulis yang mereproduksi tradisi lisan itu beragama kristen, bahkan diantara mereka termasuk pemuka agama kristen. Sekalipun MOP beragama Islam, tapi bahan baku dari semua penulisannya tentang Batak berasal dari arsip ayahnya, Sutan Martua Radja (SMR), seorang tokoh kristen di Pematang Siantar.
Dalam analisisnya Dobbin akhirnya memang mengakui, barang kali garis keturunan ini diciptakan untuk menjelaskan beberapa keunggulan Tuanku Rao dalam kemiliteran. Dia menurut Dobbin, memang memimpin pengikut-pengikutnya melakukan serangkaian perjalanan paksaan yang luar biasa ke utara, langsung memasuki wilayah orang-orang Batak Toba. Disini ia bertemu dan membunuh Sisingamangaraja X. Dengan menganggap dia sebagai kemenakan raja yang kehilangan haknya, menurut Dobbin tradisi Batak dapat memberikan motivasi yang masuk akal untuk serangan militer ini, yaitu balas dendam.
Tapi motivasi itu menurut saya justru tidak masuk akal dan penuh kontroversi. Bagaimana mungkin Tuanku Rao yang dicitrakan sebagai pembunuh dan penyerbu yang sadis dan menganiaya orang Batak itu dikonstruksi sebagai keturunan Batak? Bagaimana kita memahami logika Si Pongki : dijatuhi hukuman mati (harus ditenggelamkan di Danau Toba karena dia anak haram hasil hubungan incest dari keluarga Singamangaraja) kemudian diselamatkan oleh raja Singamangaraja X pamannya sendiri, dan setelah Si Pongki menjadi Tuanku Rao datang membunuh Singamangaraja X paman yang justru menyelamatkannya? Konstruksi tradisi lisan ini menurut saya berkepentingan untuk mensubordinatkan dua pencitraan, pertama Islam dari selatan dan kedua Singamangaraja serta keturunan dan pengikutnya yang tidak bisa dijinakkan oleh zending dan penguasa Belanda. Diperlukan suatu penyelidikan yang lebih mendalam tentang konstruksi yang terlanjur sudah dianggap sebagai realitas ini.
DAFTAR BACAAN
Dobbin Christine.2008. “Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri Minangkabau 1784-1847”. Komunitas Bambu. Jakarta.
Hamka. 1974. Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”. Jakarta: Bulan Bintang.
Harahap, Basyral Hamidy. 2007. Greget Tuanku Rao. Depok: Komunitas Bambu.
Imran Manan . Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Sinar Harapan Jakarta.
Lumbantobing, Adniel.1967. Si Singamangaraja I – XII. Medan
Parlindungan, Mangaradja Onggang. 2007. Tuanku Rao. Jogjakarta: LkiS
Said, Mohammad.1961. Singamangaradja. Percetakan Waspada Medan.
Sangti, Batara. 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar Company.
Siahaan Bisuk.2005 Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu. Kempala Foundation Jakarta.
Sihombing PTD.2008. Pendeta Mangaradja Hezekiel Manullang, Pahlawan Perintis Kemrdekaan Bangsa Indonesia & Pelopor Semangat Kemandirian Gereja di Tanah Batak 1887-1979. Albert-Orem Ministry.Jakarta.
Tuanku Rao, Lahir di Luar Nikah dan Sempat dibuang ke Danau Toba. Metro Siantar 25 November 2007.
diposting oleh:
Erond L. Damanik, M.Si
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan