Di Era Soeharto ada amat banyak Napol dan Tapol yg disekap di penjara2 di seluruh Indonesia. Sebagian dibebaskan Habibie dan sisanya dibebaskan Gus Dur, hingga bersih.
Pasal-pasal yg digunakan Soeharto terutama adalah Makar, Subversif, Membenci Pemerintah dan Menghina Presiden. Habibie dan Gus Dur menidurkan Pasal-pasal itu.
Di Era Megawati dan SBY muncul lagi Tapol-Napol dari kalangan mahasiswa, terutama krn Pasal2 Penghinaan kpd Presiden digunakan lagi. Pasal2 Penghinaan ini dicabut MK pada Desember 2006. Pandapotan Lubis yg sdg diadili terbebas dari vonis Hakim.
Sekarang, di Era Jokowi Napol-Tapol muncul lagi, dan Penjara dan Rumah Tahanan mulai lagi diisi mereka. Tuduhan yg teutama adalah MAKAR dan CYBER/Pelanggaran atas UU ITE. Kedua tuduhan itu menjadi kegemaran Kapolri Tito Karnavian, yg disebut-sebut sbg Anak Emas Joko Oey. Tito tidak suka dg unjuk-unjuk rasa dan omongan2 miring thd Joko, Ahok dan Pendukung Keduanya. Yg ketahuan akan dituduh sbg Pelaku kejahatan MAKAR atau CYBER, yg lalu dikaitkan dg kejahatan SARA. Kegemaran atas kejahatan2 itu diikuti oleh bawahannya, khususnya di DKI Jakarta, yaitu Kapolda Metro Jaya yg dikenal dg sebutan Iwan Bule.
Selain itu ada kejahatan lain yg justru dilakukan oleh Hamba2 Hukum sendiri untuk melawan mereka yg TERDUGA memusuhi Joko, Ahok dan para Pendukungnya. Kejahatan mereka adalah INTERVENSI thd kemandirian hukum yg di Era Soeharto dikenal dg sebutan Kejahatan MAFIA PERADILAN. Di Era itu, masih ada Menteri Kehakiman yg membawahi de facto Para Hakim di seluruh Indonesia.
Diawali oleh intervensi Menteri Kehakiman untuk menetapkan VONIS berupa kesalahan Terdakwa dan sekaligus jumlah hukumannya. Selain Rezim Penguasa, kebiasaan INTERVENSI itu kmdn dilakukan jg oleh para Jaksa, termasuk JPU, para Polisi, Panitera, Pengacara dan... para Hakim sendiri. Itulah elemen2 Mafia Peradilan!
Memang Mafia Peradilan ini menjadi BATU UJIAN bagi para Hakim, karena Vonisnya selalu diawali dengan "Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Ujian yg luar biasa, karena taruhannya adalah antara Neraka dan Surga.
Di sini Terdakwa bisa menjadi Korban, tapi bisa juga diuntungkan. Hukumannya bisa tinggi, padahal harusnya rendah atau bahkan bisa bebas. Bisa jg divonis bebas, padahal kejahatannya luar-biasa. Semua tergantung pada MAUNYA Rezim yg BERKUASA.
Sekarang, di Era Joko Oey, kebiasaan BURUK, atau bahkan BIADAB, itu secara terang-terangan dilakukan dalam Persidangan Ahok, si Penista Agama, yg menjadi kamerad-nya Rezim Joko Oey.
Sebelumnya, intervensi sudah dilakukan dgn menyetujui Ahok yg RASIS thdp orang Inonesia Asli dan Agama Islam itu, menjadi Calon Gubernur. Ahok pun nendapat perlindungan dari Rezim, sehingga baru menjadi Tersangka dan bisa diseret ke Pengadilan hanya setelah ada unjukrasa jutaan orang Pembela Islam dalam Aksi 411 dan 212. Aksi mana membawa beberapa Korban Tuduhan MAKAR PALSU.
Intervensi yg kemudian terjadi lagi memasuki wilayah Mafia Peradilan. Di sini, Iwan Bule bermain, yaitu dengan MEMINTA Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara MENUNDA Pembacaan Tuntutan oleh JPU terhadap Terdakwa Ahok. Alasannya MENJAGA KEAMANAN. Lho, padahal ada 22 ribu Polisi di Jakarta... Pastilah Tito Karnavian ada di balik PERMINTAAN tsb.
Tujuannya, agar Tuntutan Hukuman JPU itu tidak berakibat buruk terhadap Perolehan Suara Ahok dalam Pilkada yg akan berlangsung sesudah itu, tgl 19 April.
Merasa bahwa seorang Ketua Pengadilan Negeri, atau siapa pun, termasuk Presiden, DILARANG mempengaruhi Majelis Hakim dalam bentuk apa pun, termasuk MENUNDA Agenda Sidang, cara lain pun ditempuh. Kali ini JAKSA AGUNG yg turun tangan sendiri untuk MEMERINTAHKAN JPU agar MENUNDA sendiri Pembacaan Tuntutannya. Bagaimana caranya JPU meminta kepada Majelis Hakim MENUNDA Pembacaan Tuntutannya tergantung pada keberaniannya MENENTANG ATASANNYA, yaitu Jaksa Agung, dengan risiko DIPECAT sbg Jaksa.
Kalau akhirnya JPU memilih berani MELAWAN perintah Jaksa Agung, dengan NEKAD membacakan Tuntutannya, masih menjadi pertanyaan, seperti apa Tuntutannya bagi si terdakwa Penista Agama: MENUNTUT HUKUMAN 2-5 tahun PENJARA, atau menuntut BEBAS!
Apa pun yg akan terjadi besok, Selasa 11 April 2017 dalam Sidang Pembacaan Tuntutan yg akan dilakukan oleh JPU, maka itu akan tetap menjadi BATU UJIAN bagi TUJUH HAKIM anggota Msjelis yg mengadili Ahok SI PENISTA AGAMA. Sebab, Majelis Hakim yg akan memutuskan sampai KAPAN Pembacaan Penuntutan ditunda sesuai Permintaan Jaksa. Bisa saja Majelis Hakim bersikukuh menunda 2 HARI. Atau 2 MINGGU, yg berarti sudah menunjukkan pembelaan Rezim Joko Oey kepada Ahok, si Penista Agama dan Musuh Rakyat Indonesia Nomor Dua itu...! Yg Nomor Tiga sudah pasti para CECUNGUK dan para Kamerad Ahok.
@SBP